Syarat-Syarat Wudhu, Jangan Sampai Wudhu Kamu Tidak Sah!

Syarat wudhu - Artikel ini akan menjelaskan syarat wudhu yang di terjemahkan dari kitab fathul muin karya Zainuddin Al-Malibary. 

Syarat wudhu

Agar wudhu di anggap sah oleh agama, maka penting kita perhatikan syarat wudhu yang telah ditentukan. Setelah pembahasan ini selesai, berikutnya kita akan lanjut membahas tentang rukun atau fardhu wudhu yang harus di ketahui oleh kita.

Seperti halnya syarat mandi, syarat wudhu ada lima. Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, maka wudhu bisa dianggap tidak sah.

Syarat wudhu ada 5.

  1. Menggunakan air mutlak yaitu air suci dan mensucikan
  2. Membasuh anggota wudhu, yaitu wajah, dua tangan, mengusap kepala, membasuh kaki
  3. Tidak ada sesuatu dalam anggota wudhu yang dapat merubah sifat air. seperti minyak za'faran
  4. Tidak ada sesuatu yang menghalangi air pada kulit
  5. Masuk waktu bagi yang daimul hadats (beser, wanita istihadhah).

syarat syarat wudhu


Penjelasan

1. Air Mutlak

Syarat pertama adalah menggunakan air mutlak. Jadi hadats dan najis tidak akan hilang, juga tidak akan bisa menghasilkan kesucian lain meskipun itu sunnah kecuali dengan menggunakan air mutlak.

Air Mutlak adalah penamaan air yang diikat dengan sebab yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Seperti air laut sekalipun air itu menetes dari uap air suci yang mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang bercampur.

Ini berbeda dengan air yang tidak bernama kecuali selalu dikaitkan dengan nama lain seperti air mawar.

Air mutlak harus belum digunakan untuk bersuci (air musta'mal), yaitu dari menghilangkan hadats kecil atau besar sekalipun bekas bersuci dari mazhab madanafiyyah yang tidak menggunakan niat. 

Atau dari anak kecil yang belum tamyiz untuk ibadah thawaf. Dan belum digunakan untuk menghilangkan najis meskipun kotorannya diampuni sedangkan kondisi air yang digunakan adalah air yang sedikit yaitu air yang kurang dari dua qullah.

Jika ada air musta'mal yang terkumpul hingga mencapai dua qullah, maka air tersebut di anggap suci dan mensucikan. Sama dengan air yang tercemar najis kemudian ditampung hingga mencapai dua qullah dan sifat airnya menjadi sedikit dengan cara memisahkan nya.

Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa tidak ada air musta'mal kecuali air dalam jumlah sedikit dan setelah pemisahan air dari tempat air itu digunakan, meskipun secara hukum. Seperti mengalirkan air dari bahu orang yang berwudhu atau kedua lututnya meskipun air kembali ke tempatnya atau air bergerak dari satu tangan ke tangan lainnya.

Memang benar air yang telah dipisahkan, meskipun secara hukum dikatakan musta'mal, tetapi tidak masalah memisahkan air dari telapak tangan ke lengan untuk orang yang hadats. Dan untuk mandi junub dari kepala ke dada, yaitu dari setiap anggota yang umumnya menetes.

Cabang Masalah 

Jika seseorang yang berwudhu memasukkan tangannya dengan niat mandi untuk menghilangkan hadats, atau orang tersebut tidak berniat melakukannya, tetapi setelah berniat mandi junub, atau setelah mengulangi tiga kali dalam membasuh muka seseorang yang hadats kecil, atau setelah pencucian pertama jika dia meringkas dengan satu basuhan saja tanpa niat ightirāf dan juga tidak bermaksud mengambil air untuk tujuan apa pun selain bersuci, maka air itu menjadi musta'mal selain tangannya. Dan baginya itu adalah diperbolehkan membasuh tangannya dengan air yang ada di tangannya.

(Dan) air yang digunakan tidak ada banyak perubahan yang dapat mencegah kemutlakan nama air. Seperti perubahan yang terjadi pada salah satu sifat air yaitu dari rasa, warna dan bau. Bahkan jika perubahan itu hanya perkiraan atau perubahan untuk sesuatu yang ada pada anggota tubuh orang yang suci menurut pendapat ashah.

Perubahan hanya akan terjadi jika perubahan itu disebabkan oleh (sesuatu yang mencampur air) yaitu mukhālith. Mukhālith adalah suatu benda yang tidak tampak berbeda dengan air (yang suci) dan (air yang dapat dihindarkan dari campuran) seperti minyak zafaran, buah pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang jatuh kemudian hancur di dalamnya, bukan debu dan garam air bahkan ketika dijatuhkan ke dalam air.

Tidak masalah perubahan yang tidak mengubah kemutlakan nama air karena perubahannya kecil, meskipun ada keraguan sebagai orang yang meragukan apakah perubahan itu banyak atau sedikit. 

Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir.

Mujāwir adalah suatu benda yang tampak berbeda dari air seperti kayu, minyak meskipun keduanya terbuat dari wewangian. 

Beberapa benda mujawir adalah tetesan air mendidih meskipun jumlahnya sangat banyak dan baunya jelas, bertentangan dengan pendapat sekelompok ulama.

Bagian lainnya adalah air mendidih sedangkan di dalamnya terdapat sejenis gandum dan kurma jika tidak diketahui pemisahan suatu bentuk benda yang mencampur air tanpa terjadinya nama lain seperti air kuah.

Jika suatu benda ragu-ragu apakah itu mukhālith atau mujāwir, maka benda tersebut dihukum oleh mujāwir.

Juga dikecualikan dari komentar saya: penghindaran air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari seperti halnya air yang ada di tempat air mengendap dan di mana air mengalir. Seperti semacam lumpur, lumut yang dihancurkan, belerang. Dan seperti perubahan akibat untuk lama mengendap atau dedaunan yang berguguran yang jatuh dengan sendirinya meskipun hancur dan pohonnya jauh dari air. 

Atau perubahan terjadi karena najis walaupun perubahan itu hanya sedikit bahkan jika ada air banyak yaitu dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan hal-hal yang suci dan najis.

Ukuran air dua qullah dengan timbangan sekitar 500 ritel Bagdad, sedangkan dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus berukuran 1¼ hasta orang normal masing-masing panjang, lebar dan dalamnya.

Sedangkan pada wadah berbentuk silinder atau bundar dengan diameter 1 hasta manusia pada setiap sisinya dan kedalaman 2 hasta dengan satu hasta tangan tukang kayu, yaitu 1 ¼ hasta tangan biasa.

Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat dianggap najis – walaupun masih mungkin diragukan apakah ari tersebut telah mencapai dua qullah atau belum dan bahkan sebelumnya diyakini jumlah airnya sedikit karena terkena kotoran kering, selama kotoran tidak mengubah sifat air di dalamnya.

Tidak wajib menjauhi kotoran dalam jumlah banyak air.

Jika seseorang buang air kecil di laut, kemudian ada buih, maka buih itu dihukum sebagai najis jika jelas buih itu dari air kencingnya. Atau dari air yang telah berubah salah satu sifat air karena air kencing, dan jika tidak seperti itu maka tidak dihukum sebagai najis.

Jika suatu kotoran kering dilemparkan ke dalam air, maka dari pelemparan itu menimbulkan percikan air yang mengenai suatu benda, maka benda tersebut tidak dihukum sebagai najis.

Air yang sedikit airnya yang kurang dari dua qullah bisa menjadi najis jika airnya tidak alirkan. karena masuknya najis ke dalam air dengan najis yang bisa dilihat dengan mata orang biasa, yang tidak dimaafkan di dalam air meskipun dimaafkan dalam shalat, seperti halnya hukum-hukum selain air, yaitu dari benda yang basah dan cair, meskipun jumlah cairannya banyak.

Tidak najis karena masuknya bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir bila anggota tubuhnya dicabik seperti kalajengking dan cicak. Kecuali jika bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan sedikit perubahan, maka pada saat tersebut air menjadi najis.

Tidak dengan masuknya bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis karena kedua bangkai hewan tersebut, sedangkan pendapat sekelompok ulama berbeda. Juga tidak najis karena bangkai binatang yang keluar dari air seperti lintah.

Jika bangkai itu dibuang ke dalam air, maka air itu dihukum sebagai najis meskipun yang melemparkannya adalah orang selain yang mukallaf. Tidak masalah melempar hewan saat masih hidup secara mutlak.

Mayoritas ulama kita lebih memilih pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa air tidak dianggap najis kecuali airnya berubah.

Air yang mengalir seperti air yang tenang. 

Dalam qaul qadm Imam Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukum najis setidaknya air tanpa perubahan dan itulah mazhab Imām Mālik. Dan Majmūim Imam Nawawi-nya berkata: Apakah kotoran itu cair atau padat.

Sedikit air yang terkena kotoran bisa menjadi suci hingga airnya menjadi dua qullah bahkan dengan menggunakan air yang terkena kotoran, sekira tidak ditemukan perubahan sifat air tersebut.

Sedangkan banyak air yang terkena najis dapat menjadi murni karena hilangnya perubahan air dengan sendirinya atau dengan air yang ditambahkan atau dikurangi sedangkan sisanya masih banyak.

2. Mengalirkan Air Pada Anggota Wudhu

Syarat wudhu yang kedua adalah mengalirkan air pada anggota tubuh yang dicuci, maka tidak cukup menyeka air tanpa mengalir karena tidak disebut mencuci.

3. Tidak Ada yang Merubah Sifat Air

Syarat wudhu ketiga adalah tidak ada yang dapat mengganti air dengan ganti yang membahayakan. Seperti minyak za'faran dan kayu cendana. sedangkan sekelompok ulama punya pendapat lain. 

4. Tidak Ada Penghalang

Syarat wudhu yang ke empat adalah tidak ada nya penghalang pada anggota wudhu, yakni antara air dan anggota badan yang dicuci, seperti kapur, lilin, minyak yang mengeras, tinta dzat dan pacar.

Berbeda dengan minyak cair walaupun air tidak mengendap pada anggota badan wudhu dan bekas noda tinta dan henna.

Demikian pula disyaratkan menurut mayoritas ulama' tidak ada kotoran kuku yang dapat menghalangi masuknya air ke bagian bawah kuku.

Sementara sekelompok ulama berpendapat lain, sebagian ulama' adalah Imam al-Ghazāl, Imam az-Zarkasy dan di samping keduanya.

Mereka bersikeras menguatkan pendapat mereka dan menjelaskan bahwa sesuatu di bawah paku, yaitu dari kotoran, bukan semacam adonan roti, adalah dispensasi (rukhshah).

Imam al-Adzra'ī dan lainnya mengisyaratkan kelemahan pendapat mereka. Imam Mutawallī dalam kitab Tatimah dan lain-lain menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang dikemukakan dalam ar-Raudhah dan lain-lain. Bahwa kotoran yang ada di bawah kuku, jika dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidak mendapatkan dispensasi.

Imam al-Baghawi memutuskan bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu dapat menghambat keabsahan wudhu. Berbeda dengan keringat keras yang keluar dari tubuhnya sendiri. Dan Imam Yusuf telah membuat keputusan dalam bukunya al-Anwār sesuai dengan ini.

5. Masuk Waktu Bagi Daimul Hadats

Syarat wudhu yang kelima adalah masuknya waktu shalat bagi orang yang selalu hadats seperti orang yang beser dan istiḥādhah. Dan juga wajib baginya untuk mengantisipasi masuknya waktu shalat, maka dia tidak boleh berwudhu seperti halnya orang yang tayammum untuk shalat wajib atau sunnah sebelum masuk waktu untuk melakukannya. 

Dan untuk shalat jenazah baca: rukun shalat jenazah sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum memasuki masjid, dan untuk shalat rawatib yang berakhir sebelum shalat fardhu.

Wajib wudhu dua kali atau dua tayammum bagi seorang pengkhotbah yang selalu hadats, satu wudhu untuk dua khutbah dan yang lainnya setelah dua khutbah untuk shalat Jumat (baca: pengertian shalat). dan satu wudhu cukup bagi keduanya untuk berwudhu di masing-masing tempat akan melakukan shalat wajib seperti halnya tayamum

Demikian pula wajibnya membasuh vagina dan mengganti pembalut yang ada di bibir vagina dan mengganti perban meskipun perban tidak berpindah dari tempatnya.

Dan untuk jenis beser kencing wajib segera melaksanakan shalat. Jika ia mengakhiri shalat karena untuk kemaslahatan shalat, seperti menunggu jamaah atau shalat Jum'at meskipun shalatnya berakhir dari awal waktu dan pergi ke masjid, maka hukumnya tidak menjadi masalah baginya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »