6 Fardhu Wudhu Yang Wajib Diketahui Oleh Umat Muslim

Fardhu wudhu - Salah satu syarat sah nya ibadah shalat adalah harus memenuhi syarat dan rukun. Syarat shalat salahsatunya adalah harus suci dari hadats kecil dan besar. Hadats kecil bisa hilang dengan berwudhu. Maka dari itu, artikel ini akan membahas tentang fardhu wudhu atau rukun wudhu.

Fardhu Wudhu



1. Niat

Fardhu wudhu yang pertama adalah niat wudhu, melakukan kefardhuan wudhu, atau menghilangkan hadats untuk selain mereka yang selalu memiliki hadats.

Semua niat ini juga berlaku untuk tajdidul wudhu. Dibolehkan juga niat bersuci dari hadats, mensucikan diri hal-hal yang tidak boleh dilakukan kecuali dengan wudhu, atau niat untuk diperbolehkan melakukan sesuatu yang memerlukan wudhu, seperti shalat dan menyentuh mushaf.

Tidak cukup niat untuk diperbolehkan melakukan hal-hal yang sunnah untuk wudhu seperti membaca Al-Qur'an dan hadits, juga tidak niat untuk diizinkan masuk masjid dan berziarah ke kuburan. Dasar dari kewajiban niat ini adalah hadits: Keabsahan suatu perbuatan hanya dengan kesempurnaan niat.

Wajib menyelaraskan niat (saat mulai membasuh muka).

Jika seseorang berniat saat membasuh muka, maka cukup dan wajib baginya untuk mengulangi membasuh bagian sebelum niat.

Tidaklah cukup mendahulukan niat dengan anggota sebelum wajah jika orang tersebut tidak meneruskan niat sampai membasuh sebagian wajah.

Bagian wajah yang disertai niat adalah awal membasuh, maka kesunnahan berkumur akan hilang jika wajah – seperti bagian bibir yang merah – dicuci saat berkumur setelah berniat berwudhu.

Oleh karena itu, lebih baik memetakan niat saat mencuci telapak tangan, berkumur dan menghirup air ke dalam hidung dengan niat sunnah. Kemudian mengikutinya dengan niat fardhu wudhu saat mencuci wajah. 

Sunnah melanggengkan niat dari awal membasuh muka tidak hilang. Juga sunnah untuk berkumur dan menghirup air dari hidung dengan mencuci bagian bibir yang merah.

Baca juga: Syarat wudhu 

2. Membasuh Wajah

Fardhu Wudhu yang kedua adalah membasuh bagian luar wajah karena telah dijelaskan dalam ayat Al-Qur'an: Maka basuhlah seluruh wajahmu. 

Muka dari sisi lebar adalah bagian antara pertumbuhan rambut)secara umum dan bagian bawah ujung kedua tulang rahang. Sedangkan wajah dari sisi lebar (merupakan bagian di antara kedua telinga).

Wajib mencuci bulu yang tumbuh di wajah seperti bulu mata, alis, kumis, janggut, rambut ati-ati, rambut panjang. Bagian muka berwarna merah dengan dua bibir dan daerah ghamam (sinom; Jawa) – tempat tumbuhnya rambut dahi, bukan tempat taḥdzif menurut pendapat ashaḥḥ – yaitu daerah tumbuhnya rambut tipis antara awal rambut ati-ati dan di mana kedua sisi dahi tidak berambut. – , dan bukan pasak telinga dan dua naz'ah – dua naz'ah adalah dua area bebas rambut yang mengelilingi ubun-ubun – , dan bukan titik kebotakan – yaitu area di antara dua naz'ah saat rambut rontok.

Membasuh setiap anggota yang tidak disebut muka adalah sunnah. Membasuh bagian luar dan dalam dari setiap rambut yang telah lewat – meskipun tebal – adalah wajib karena hal ini jarang terjadi.

Tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang lebat dari janggut dan janggut. Kategori tebal asalkan tidak terlihat dari sela-sela rambut di tempat percakapan umum.

Wajib memandikan anggota yang tidak dapat dimandikan seluruhnya kecuali dengan membasuhnya, karena dalam hal tidak mungkin menunaikan kewajiban kecuali dengan hal ini, maka hukumnya wajib.

3. Membasuh Kedua Tangan

Fardhu wudhu yang ketiga adalah membasuh kedua tangan, yaitu dari dua telapak tangan dan dua lengan (bersama dengan masing-masing siku) karena ayat-ayat Al-Qur'an yang telah menjelaskan. Wajib membasuh seluruh anggota yang berada di tempat yang wajib dibasuh rambut (88) dan kuku, meskipun kukunya panjang.

(Cabang Masalah). Jika seseorang lupa untuk tidak membasuh sebagian kecil dari bagian wudhu kemudian bagian tersebut dicuci pada cucian ketiga atau ketika mengulang wudhu karena lupa, bukan karena memperbaharui wudhu dan berhati-hati, itu sudah cukup.

4. Mengusap Sebagian Kepala

Fardhu wudhu keempat adalah mengusap bagian kepala - seperti daerah kedua sisi dahi yang tidak berbulu dan warna putih di belakang telinga - , yang berupa kulit atau rambut yang masih pada batasnya - meskipun sebagian hanya sehelai rambut - karena ayat yang menjelaskan hal itu.

Imam Baghawi berkata: Lebih baik tidak mencukupi guratan yang kurang dari tingkat mahkota, yaitu anggota yang berada di antara dua naz'ah karena Nabi s.a.w. tidak pernah menghapus kurang dari tingkat itu, dan hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ab anifah - semoga Allah merahmatinya - .

Pendapat populer mazhab Abu hanifah adalah wajibnya membasuh seperempat kepala.

5. Membasuh Kaki

Fardhu wudhu yang ke lima adalah membasuh kedua kaki beserta masing-masing mata kaki masing-masing kaki karena ayat Al-Qur'an yang telah menjelaskan, atau menyeka dua muzah dengan syarat. Membasuh bagian tubuh yang berlubang dan sobek adalah wajib.

(Cabang Masalah). Jika kaki seseorang tertancap duri dan terlihat sebagian durinya, maka wajib mencabutnya dan membasuh bekas duri yang tertancap itu, karena tempat itu dihukum menjadi anggota luar.

Jika semua duri tenggelam, duri itu akan dinilai dari dalam sampai wudhunya sah. Jika kaki atau bagian lain melepuh, maka mata tidak wajib membasuh bagian dalamnya selama bagian itu tidak sobek. Jika bagian tersebut robek, maka wajib untuk mencuci bagian dalamnya selama tidak melekat.

(Peringatan). Ulama menyebutkan dalam hal mandi bahwa bagian dalam dari rambut yang diikat dimaafkan - di-ma'fuw - jika rambut diikat dengan sendirinya.

Disamakan dengan ini adalah orang yang diuji dengan jenis kutu yang menempel di akar rambut sehingga menghalangi masuknya air ke tempatnya dan tidak mungkin dihilangkan.

Gurunya, guru kami, Syekh Zakariyya al-Ansari, telah menjelaskan bahwa masalah tidak dapat disamakan, bahkan orang tersebut harus melakukan tayamum. Tetapi muridnya, guru kami Ibnu Ajar berkata: Bahwa pendapat yang lebih tinggi dimaafkan karena termasuk dalam keadaan darurat.

6. Tertib

Fardhu wudhu yang ke enam adalah tartib sebagaimana tersebut di atas, yaitu dari keutamaan membasuh muka, kemudian tangan, kepala, lalu kedua kaki terakhir mengikuti Nabi s.a.w.

Jika seseorang berniat untuk menyelam walaupun di air yang sedikit, dengan niat yang sesuai, yaitu dari niat-niat tersebut di atas, maka itu cukup untuk berwudhu, meskipun orang tersebut tidak tetap berada di dalam air saat menyelam untuk tujuan tersebut. jumlah waktu yang jika dia mencuci dengan niat. menghilangkan hadats, maka tersirat bahwa tartib harus nyata.

Boleh lupa untuk tidak memandikan beberapa anggota atau beberapa anggota selain anggota wudhu meskipun ada penghalang selain anggota wudhu seperti lilin, maka hal ini tidak menjadi masalah seperti yang dijelaskan oleh guru kami.

Jika seseorang memiliki hadats kecil dan junub maka cukup baginya dari dua hal ini dengan niat mandi.

Tidak wajib percaya bahwa air telah diratakan pada semua anggota, bahkan cukup baginya untuk memiliki anggapan yang kuat tentang hal itu.

(Cabang Masalah). Jika seseorang yang berwudhu atau mandi ragu-ragu dalam mensucikan seorang anggota sebelum menyelesaikan wudhu atau mandinya, maka orang tersebut wajib mensucikan anggota yang syubhat itu, maka wajib pula mensucikan anggota tersebut setelah itu dalam hal wudhu atau keragu-raguan itu terjadi setelahnya. menyelesaikan pemurnian, maka itu tidak memiliki efek apa pun.

Kalaupun ada keraguan dalam niat, maka tidak memberikan petunjuk menurut pendapat yang lebih tinggi seperti yang dijelaskan dalam Syaraḥ Minhaj guru kita.

Guru kami berkata dalam Syaraḥ Minhaj: Persamaan masalah yang akan muncul kemudian dalam kasus keragu-raguan setelah fatiah dan sebelum ruku adalah bahwa jika keraguan seseorang yang berwudhu terjadi setelah selesainya mencuci salah satu anggota di asal. mencuci, maka orang itu harus mengulangi wudhunya atau timbul keraguan ketika masih membasuh sebagian anggotanya, maka tidak wajib mengulanginya.

Oleh karena itu, kata-kata para ulama awal diarahkan pada kasus-kasus keragu-raguan tentang asal-usul pencucian anggota, bukan bagian darinya.

Syarat-Syarat Wudhu, Jangan Sampai Wudhu Kamu Tidak Sah!

Syarat wudhu - Artikel ini akan menjelaskan syarat wudhu yang di terjemahkan dari kitab fathul muin karya Zainuddin Al-Malibary. 

Syarat wudhu

Agar wudhu di anggap sah oleh agama, maka penting kita perhatikan syarat wudhu yang telah ditentukan. Setelah pembahasan ini selesai, berikutnya kita akan lanjut membahas tentang rukun atau fardhu wudhu yang harus di ketahui oleh kita.

Seperti halnya syarat mandi, syarat wudhu ada lima. Jika kelima syarat ini tidak terpenuhi, maka wudhu bisa dianggap tidak sah.

Syarat wudhu ada 5.

  1. Menggunakan air mutlak yaitu air suci dan mensucikan
  2. Membasuh anggota wudhu, yaitu wajah, dua tangan, mengusap kepala, membasuh kaki
  3. Tidak ada sesuatu dalam anggota wudhu yang dapat merubah sifat air. seperti minyak za'faran
  4. Tidak ada sesuatu yang menghalangi air pada kulit
  5. Masuk waktu bagi yang daimul hadats (beser, wanita istihadhah).

syarat syarat wudhu


Penjelasan

1. Air Mutlak

Syarat pertama adalah menggunakan air mutlak. Jadi hadats dan najis tidak akan hilang, juga tidak akan bisa menghasilkan kesucian lain meskipun itu sunnah kecuali dengan menggunakan air mutlak.

Air Mutlak adalah penamaan air yang diikat dengan sebab yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Seperti air laut sekalipun air itu menetes dari uap air suci yang mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang bercampur.

Ini berbeda dengan air yang tidak bernama kecuali selalu dikaitkan dengan nama lain seperti air mawar.

Air mutlak harus belum digunakan untuk bersuci (air musta'mal), yaitu dari menghilangkan hadats kecil atau besar sekalipun bekas bersuci dari mazhab madanafiyyah yang tidak menggunakan niat. 

Atau dari anak kecil yang belum tamyiz untuk ibadah thawaf. Dan belum digunakan untuk menghilangkan najis meskipun kotorannya diampuni sedangkan kondisi air yang digunakan adalah air yang sedikit yaitu air yang kurang dari dua qullah.

Jika ada air musta'mal yang terkumpul hingga mencapai dua qullah, maka air tersebut di anggap suci dan mensucikan. Sama dengan air yang tercemar najis kemudian ditampung hingga mencapai dua qullah dan sifat airnya menjadi sedikit dengan cara memisahkan nya.

Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa tidak ada air musta'mal kecuali air dalam jumlah sedikit dan setelah pemisahan air dari tempat air itu digunakan, meskipun secara hukum. Seperti mengalirkan air dari bahu orang yang berwudhu atau kedua lututnya meskipun air kembali ke tempatnya atau air bergerak dari satu tangan ke tangan lainnya.

Memang benar air yang telah dipisahkan, meskipun secara hukum dikatakan musta'mal, tetapi tidak masalah memisahkan air dari telapak tangan ke lengan untuk orang yang hadats. Dan untuk mandi junub dari kepala ke dada, yaitu dari setiap anggota yang umumnya menetes.

Cabang Masalah 

Jika seseorang yang berwudhu memasukkan tangannya dengan niat mandi untuk menghilangkan hadats, atau orang tersebut tidak berniat melakukannya, tetapi setelah berniat mandi junub, atau setelah mengulangi tiga kali dalam membasuh muka seseorang yang hadats kecil, atau setelah pencucian pertama jika dia meringkas dengan satu basuhan saja tanpa niat ightirāf dan juga tidak bermaksud mengambil air untuk tujuan apa pun selain bersuci, maka air itu menjadi musta'mal selain tangannya. Dan baginya itu adalah diperbolehkan membasuh tangannya dengan air yang ada di tangannya.

(Dan) air yang digunakan tidak ada banyak perubahan yang dapat mencegah kemutlakan nama air. Seperti perubahan yang terjadi pada salah satu sifat air yaitu dari rasa, warna dan bau. Bahkan jika perubahan itu hanya perkiraan atau perubahan untuk sesuatu yang ada pada anggota tubuh orang yang suci menurut pendapat ashah.

Perubahan hanya akan terjadi jika perubahan itu disebabkan oleh (sesuatu yang mencampur air) yaitu mukhālith. Mukhālith adalah suatu benda yang tidak tampak berbeda dengan air (yang suci) dan (air yang dapat dihindarkan dari campuran) seperti minyak zafaran, buah pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang jatuh kemudian hancur di dalamnya, bukan debu dan garam air bahkan ketika dijatuhkan ke dalam air.

Tidak masalah perubahan yang tidak mengubah kemutlakan nama air karena perubahannya kecil, meskipun ada keraguan sebagai orang yang meragukan apakah perubahan itu banyak atau sedikit. 

Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir.

Mujāwir adalah suatu benda yang tampak berbeda dari air seperti kayu, minyak meskipun keduanya terbuat dari wewangian. 

Beberapa benda mujawir adalah tetesan air mendidih meskipun jumlahnya sangat banyak dan baunya jelas, bertentangan dengan pendapat sekelompok ulama.

Bagian lainnya adalah air mendidih sedangkan di dalamnya terdapat sejenis gandum dan kurma jika tidak diketahui pemisahan suatu bentuk benda yang mencampur air tanpa terjadinya nama lain seperti air kuah.

Jika suatu benda ragu-ragu apakah itu mukhālith atau mujāwir, maka benda tersebut dihukum oleh mujāwir.

Juga dikecualikan dari komentar saya: penghindaran air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari seperti halnya air yang ada di tempat air mengendap dan di mana air mengalir. Seperti semacam lumpur, lumut yang dihancurkan, belerang. Dan seperti perubahan akibat untuk lama mengendap atau dedaunan yang berguguran yang jatuh dengan sendirinya meskipun hancur dan pohonnya jauh dari air. 

Atau perubahan terjadi karena najis walaupun perubahan itu hanya sedikit bahkan jika ada air banyak yaitu dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan hal-hal yang suci dan najis.

Ukuran air dua qullah dengan timbangan sekitar 500 ritel Bagdad, sedangkan dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus berukuran 1¼ hasta orang normal masing-masing panjang, lebar dan dalamnya.

Sedangkan pada wadah berbentuk silinder atau bundar dengan diameter 1 hasta manusia pada setiap sisinya dan kedalaman 2 hasta dengan satu hasta tangan tukang kayu, yaitu 1 ¼ hasta tangan biasa.

Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat dianggap najis – walaupun masih mungkin diragukan apakah ari tersebut telah mencapai dua qullah atau belum dan bahkan sebelumnya diyakini jumlah airnya sedikit karena terkena kotoran kering, selama kotoran tidak mengubah sifat air di dalamnya.

Tidak wajib menjauhi kotoran dalam jumlah banyak air.

Jika seseorang buang air kecil di laut, kemudian ada buih, maka buih itu dihukum sebagai najis jika jelas buih itu dari air kencingnya. Atau dari air yang telah berubah salah satu sifat air karena air kencing, dan jika tidak seperti itu maka tidak dihukum sebagai najis.

Jika suatu kotoran kering dilemparkan ke dalam air, maka dari pelemparan itu menimbulkan percikan air yang mengenai suatu benda, maka benda tersebut tidak dihukum sebagai najis.

Air yang sedikit airnya yang kurang dari dua qullah bisa menjadi najis jika airnya tidak alirkan. karena masuknya najis ke dalam air dengan najis yang bisa dilihat dengan mata orang biasa, yang tidak dimaafkan di dalam air meskipun dimaafkan dalam shalat, seperti halnya hukum-hukum selain air, yaitu dari benda yang basah dan cair, meskipun jumlah cairannya banyak.

Tidak najis karena masuknya bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir bila anggota tubuhnya dicabik seperti kalajengking dan cicak. Kecuali jika bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan sedikit perubahan, maka pada saat tersebut air menjadi najis.

Tidak dengan masuknya bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis karena kedua bangkai hewan tersebut, sedangkan pendapat sekelompok ulama berbeda. Juga tidak najis karena bangkai binatang yang keluar dari air seperti lintah.

Jika bangkai itu dibuang ke dalam air, maka air itu dihukum sebagai najis meskipun yang melemparkannya adalah orang selain yang mukallaf. Tidak masalah melempar hewan saat masih hidup secara mutlak.

Mayoritas ulama kita lebih memilih pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa air tidak dianggap najis kecuali airnya berubah.

Air yang mengalir seperti air yang tenang. 

Dalam qaul qadm Imam Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukum najis setidaknya air tanpa perubahan dan itulah mazhab Imām Mālik. Dan Majmūim Imam Nawawi-nya berkata: Apakah kotoran itu cair atau padat.

Sedikit air yang terkena kotoran bisa menjadi suci hingga airnya menjadi dua qullah bahkan dengan menggunakan air yang terkena kotoran, sekira tidak ditemukan perubahan sifat air tersebut.

Sedangkan banyak air yang terkena najis dapat menjadi murni karena hilangnya perubahan air dengan sendirinya atau dengan air yang ditambahkan atau dikurangi sedangkan sisanya masih banyak.

2. Mengalirkan Air Pada Anggota Wudhu

Syarat wudhu yang kedua adalah mengalirkan air pada anggota tubuh yang dicuci, maka tidak cukup menyeka air tanpa mengalir karena tidak disebut mencuci.

3. Tidak Ada yang Merubah Sifat Air

Syarat wudhu ketiga adalah tidak ada yang dapat mengganti air dengan ganti yang membahayakan. Seperti minyak za'faran dan kayu cendana. sedangkan sekelompok ulama punya pendapat lain. 

4. Tidak Ada Penghalang

Syarat wudhu yang ke empat adalah tidak ada nya penghalang pada anggota wudhu, yakni antara air dan anggota badan yang dicuci, seperti kapur, lilin, minyak yang mengeras, tinta dzat dan pacar.

Berbeda dengan minyak cair walaupun air tidak mengendap pada anggota badan wudhu dan bekas noda tinta dan henna.

Demikian pula disyaratkan menurut mayoritas ulama' tidak ada kotoran kuku yang dapat menghalangi masuknya air ke bagian bawah kuku.

Sementara sekelompok ulama berpendapat lain, sebagian ulama' adalah Imam al-Ghazāl, Imam az-Zarkasy dan di samping keduanya.

Mereka bersikeras menguatkan pendapat mereka dan menjelaskan bahwa sesuatu di bawah paku, yaitu dari kotoran, bukan semacam adonan roti, adalah dispensasi (rukhshah).

Imam al-Adzra'ī dan lainnya mengisyaratkan kelemahan pendapat mereka. Imam Mutawallī dalam kitab Tatimah dan lain-lain menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang dikemukakan dalam ar-Raudhah dan lain-lain. Bahwa kotoran yang ada di bawah kuku, jika dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidak mendapatkan dispensasi.

Imam al-Baghawi memutuskan bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu dapat menghambat keabsahan wudhu. Berbeda dengan keringat keras yang keluar dari tubuhnya sendiri. Dan Imam Yusuf telah membuat keputusan dalam bukunya al-Anwār sesuai dengan ini.

5. Masuk Waktu Bagi Daimul Hadats

Syarat wudhu yang kelima adalah masuknya waktu shalat bagi orang yang selalu hadats seperti orang yang beser dan istiḥādhah. Dan juga wajib baginya untuk mengantisipasi masuknya waktu shalat, maka dia tidak boleh berwudhu seperti halnya orang yang tayammum untuk shalat wajib atau sunnah sebelum masuk waktu untuk melakukannya. 

Dan untuk shalat jenazah baca: rukun shalat jenazah sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul-masjid sebelum memasuki masjid, dan untuk shalat rawatib yang berakhir sebelum shalat fardhu.

Wajib wudhu dua kali atau dua tayammum bagi seorang pengkhotbah yang selalu hadats, satu wudhu untuk dua khutbah dan yang lainnya setelah dua khutbah untuk shalat Jumat (baca: pengertian shalat). dan satu wudhu cukup bagi keduanya untuk berwudhu di masing-masing tempat akan melakukan shalat wajib seperti halnya tayamum

Demikian pula wajibnya membasuh vagina dan mengganti pembalut yang ada di bibir vagina dan mengganti perban meskipun perban tidak berpindah dari tempatnya.

Dan untuk jenis beser kencing wajib segera melaksanakan shalat. Jika ia mengakhiri shalat karena untuk kemaslahatan shalat, seperti menunggu jamaah atau shalat Jum'at meskipun shalatnya berakhir dari awal waktu dan pergi ke masjid, maka hukumnya tidak menjadi masalah baginya.

Pengertian Shalat dan Kewajiban Melaksankannya

Pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan dan perbuatan yang disyariatkan, yang dibuka dengan takbīrat-ul-iḥrām, dan ditutup dengan salam. Dinamakan demikian karena termasuk shalat untuk (makna kata) shalat dalam bahasa yang berarti doa.

Kewajiban Melaksanakan Shalat

Shalat fardhu berjumlah lima kali sehari semalam yang telah diketahui secara pasti dari agama. Maka hukumnya kafir bagi yang menentangnya.

Sholat lima waktu tidak dikumpulkan kecuali pada Nabi kita Muhammad s.a.w. Shalat lima waktu wajib dilakukan pada malam Isra' setelah 10 tahun kenabian selama 3 bulan. Tepatnya, itu terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Shalat Shubuh malam itu tidak wajib karena nabi tidak tahu tata caranya.

(Kewajiban mengerjakan shalat maktubah) yaitu, shalat lima waktu (hanya dibebankan kepada) masing-masing (Muslim yang mukallaf) yaitu seorang Muslim yang telah mencapai baligh, berakal, baik laki-laki maupun orang lain (dan org suci).

Maka tidak wajib shalat bagi orang kafir asal, anak-anak, orang gila, ayan, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada kewajiban bagi mereka. Dan juga tidak wajib bagi wanita yang sedang haid dan bersalin karena mereka shalat tidak sah.

Tidak ada kewajiban untuk mengganti shalat yang ditinggalkan pada keduanya, tetapi shalat adalah wajib bagi orang yang murtad dan orang yang lalai karena mabuk.

Hukuman Bagi Yang Meninggalkan Shalat

(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan cara memenggal kepalanya sebagai hukuman (ketika ia menghabiskan waktu shalat) yang telah dengan sengaja wajib (dari waktu yang dapat digunakan menjama') shalat wajib, jika ia merasa malas disertai dengan keyakinan pada kewajibannya (jika dia tidak bertobat) setelah diperintahkan.

Jika mengikuti pendapat yang mengutuk, sunnah menyuruh orang yang meninggalkan shalat untuk bertaubat, maka tidak wajib memberi ganti rugi kepada orang yang membunuhnya sebelum ia bertaubat tetapi hukumnya berdosa.

Dan dibunuh dengan status kafir bila meninggalkan shalat karena bertentangan dengan kewajibannya, maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.

Kewajiban Mengqadha Shalat

Wajib segera melaksanakan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang telah disebutkan hukumnya, jika shalat ditinggalkan tanpa udzur maka wajib baginya untuk segera mengganti atau mengqadha' shalat tersebut.

Guru kita Syekh Ibn ajar - semoga Allah merahmatinya - berkata: "Sudah jelas bahwa dia wajib menggunakan seluruh waktunya untuk menggantikan sholat yang ditinggalkan selain waktu yang dia perlukan untuk digunakan dalam hal-hal yang wajib. 

Dan diharamkan baginya untuk melakukan shalat sunnah. Sunnah bersegera untuk mengqadha' shalat yang ditinggalkan karena udzur seperti tidur yang tidak lengah, serta lupa.

Disunnahkan untuk menertibkan shalat yang ditinggalkan, kemudian shalat Shubuh dilakukan terlebih dahulu sebelum Zhuhur dan seterusnya. 

Disunnahkan mendahului shalat qadha' di atas shalat hadir yang tidak takut berakhirnya waktu, jika shalat ditinggalkan karena udzur, sekalipun orang tersebut takut kehilangan shalat berjamaah dari shalat hadir menurut pendapat mu'tamad.

Jika shalat ditinggalkan tanpa udzur, maka wajib baginya untuk terlebih dahulu melaksanakan shalat qadha' dengan mengakhiri shalat yang sekarang. Sedangkan jika ia takut kehilangan waktu shalat yang sekarang dengan hadirnya sebagian waktu -walaupun hanya sedikit--, maka wajib baginya untuk memulai shalat hadir.

Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa udzur di atas shalat yang ditinggalkan udzur sekalipun menyebabkan hilangnya ketertiban, karena hukum tata tertib hanya sunnah sedangkan bersegera hukumnya wajib.

Mengakhiri shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan karena udzur adalah sunnah dan wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa udzur.

(Peringatan). Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan masih bergantung pada shalat wajib, maka shalatnya tidak diganti dan tidak ada pembayaran fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya.

Sebagian pendapat mengatakan: Shalat dapat dilakukan menggantikan shalat yang ditinggalkan, baik orang yang mewariskan atau tidak. Imam Al-Ubadi meriwayatkan pendapat ini dari Imam Syafi'i karena hadits tentang hal itu dan Imam Subki dengan pendapat itu melakukannya sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan oleh beberapa kerabatnya.

Kewajiban Menyuruh Shalat Kepada Anak Kecil

pengertian shalat

(Dan memerintahkan) kepada mereka yang memiliki anak laki-laki atau perempuan kecil (yang tamyiz) yaitu, telah mampu makan, minum dan istinja' sendiri. 

Artinya wajib bagi masing-masing kedua orang tua (bahkan pada tingkatan yang paling tinggi), kemudian orang yang mewariskan dan orang yang memiliki hamba untuk memerintahkannya (melakukan shalat). meskipun shalatnya adalah shalat qadha’ dan dengan semua syarat shalat (ketika anak telah mencapai usia tujuh tahun) berarti setelah usia sempurna tujuh tahun meskipun anak telah tamyiz sebelum usia itu.

Dan lebih baik memerintah bersama dengan menakut nakuti. Wajib bagi orang-orang tersebut di atas (memukul anak) dengan pukulan yang tidak menyakitkan ketika dia (meninggalkan shalat). meskipun qadha' atau meninggalkan satu syarat syarat shalat (setelah mencapai usia sepuluh tahun).

Karena hadits shahih: “Perintahlah seorang anak untuk melakukan shalat ketika dia berusia tujuh tahun dan ketika dia berusia sepuluh tahun, maka pukul lah anak itu ketika dia meninggalkannya”.

(Adapun kewajiban memerintahkan puasa bagi seorang anak yang telah mampu melakukannya) maka anak itu diperintahkan untuk melakukannya ketika dia berusia tujuh tahun. Dan dipukuli ketika meninggalkannya ketika dia berusia 10 tahun.

Hikmah dari hal ini adalah melatih untuk melakukan ibadah agar anak terbiasa agar tidak meninggalkannya.

Imam al-Adzra' pernah membahas masalah budak kecil yang mampu membacakan kalimat syahadat bahwa anak itu sunnah untuk diperintahkan untuk menunaikan shalat dan puasa dengan motivasi tanpa pemukulan agar anak terbiasa berbuat baik setelahnya. pubertas, meskipun qiyas hukum sunnah ditolak.

Juga wajib bagi orang yang disebutkan untuk mencegah anak dari melakukan hal-hal yang dilarang. Mengajarkan kewajiban dan sejenisnya, yaitu dari setiap syari'at yang telah jelas meskipun itu sunnah seperti siwak. .

Hukum wajib memerintahkan anak untuk melakukan syariat. Kewajiban-kewajiban yang telah diberikan kepada mereka yang telah disebutkan itu tidak akan berakhir kecuali anak itu telah mencapai pubertas dalam keadaan berakal. 

Sedangkan upah mendidik anak seperti mengajar Al-Qur'an dan etika dibebankan pada harta anak, kemudian ayahnya, kemudian ibunya.

Istri Harus Diperintah Shalat

pengertian shalat

(Peringatan). Imam as-Sam‘ān menyampaikan permasalahan seorang istri muda yang masih memiliki kedua orang tua yang kewajiban masa lalu dibebankan kepada kedua orang tuanya, kemudian suaminya.

Dampak hukumnya adalah kewajiban memukul istri. Imam Jamāl-ul-Islām al-Bazarī menjelaskan kewajiban memukul istri meskipun sudah dewasa. 

Guru kami berkata: Sudah jelas, tapi kalau tidak takut nusyuz , sedangkan Imam Zarkasy hukumnya sunnah mutlak.

(Awal dari hal yang wajib) dengan kewajiban memerintahkan shalat sebagaimana telah disampaikan oleh para ulama' (kepada bapak-bapak), kemudian kepada mereka yang telah disebutkan (mengajarkan anak-anak) yang memiliki tamyiz (bahwa Nabi kita, Nabi Muhammad SAW diutus ke kota Mekah), lahir di kota itu, (dimakamkan di kota Madinah) dan wafat di kota Madinah pula.

Sumber: rojaulhuda.com